Selasa, H / 19 Maret 2024

Berlabel Kota ‘Ramah HAM’, Wonosobo Jadi Tuan Rumah Festival HAM 2018

Kamis 04 Oct 2018 08:26 WIB

AA

Peresmian Festival HAM

Foto: ksp.go.id


Tak hanya menjadi tempat wisata, namun Wonosobo juga akan menjadi tempat yang menyenangkan untuk berdiskusi tentang HAM


ESQNews.id, JAKARTA – Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnasham) menunjuk kabupaten Wonosobo sebagai tuan rumah Festival HAM Indononesia kelima yang akan digelar pada 13-15 November mendatang.


Penunjukkan kabupaten di Jawa Tengah ini sebagai tuan rumah bukan hanya alasan memiliki tempat wisata dan pemandangan yang menarik, namun karena Wonosobo menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang masuk dalam dokumen resmi PBB sebagai kota ramah HAM.


Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM Komnasham, Beka Ulung Hapsara, menyebut hal itu sebagai salah satu alasan Wonosobo terpilih sebagai tuan rumah. “Wonosobo adalah satu-satunya daerah yang memiliki peraturan daerah khusus Kabupaten Ramah HAM. Jadi, mereka mengatur hal itu dan menjadikannya urat nadi dan pembangunan di Wonosobo,” ujar Beka di Jakarta, Rabu (3/10/2018).


Dia menjelaskan, Wonosobo memiliki tim yang dinamain Gugus Tugas Wonosobo Ramah HAM. Tim yang terdiri dari birokrat muda progresif itu memastikan kebijakan pemerintah setempat menjalani tugas dan kebijakan selaras dengan nilai HAM.


“Kami mengambil tema ‘merawat keragaman, memperkuat solidaritas menuju Indonesia yang inklusif dan berkeadilan’. Kami ingin semua warga negara bisa terlibat dan menjadi subjek pembangunan, bukan hanya menjadi objek,” tutur Beka.


--Dekatkan pengenalan HAM lewat budaya

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang hadir dalam penandatangan kesepakatan antara Komnas HAM, INFID, Pemerintah Daerah Jawa Tengah dan Kabupaten Wonosobo beserta Kantor Staf Kepresidenan ini menyatakan dukungan agenda tahunan ini digelar di Wonosobo.


Agenda Festival HAM yang banyak diisi dengan pleno, seminar ataupun diskusi terkait HAM, disebut Ganjar, tak hanya sekadar sebagai peringatan dan cara menghormati HAM itu sendiri. Namun, pengunjung festival ini juga dapat merasakan bahwa penghormatan HAM juga dapat diresapi lewat kebudayaan.


“Seni budaya itu lebih makjleb daripada kita bicara mana agama yang lebih baik. Tapi melalui kultural itu, yang bisa membuat lebih merasakan keberagaman dan tahu bagaimana cara menghormatinya,” ujar Ganjar.


Selain itu, pengunjung festival ini dapat semakin menikmati alam mengingat letak Wonosobo yang berada di wilayah pegunungan. “Saya senang karena Wonosobo dipilih sebagai tempat festival Karena banyak tempat-tempat di Wonosobo yang bisa dikunjungi, jadi kalau ngobrol soal HAM di situ akan lebih santai,” sebut dia.


Ganjar dalam kesempatan itu juga mengingatkan, bahwa perkara HAM tak sebatas kasus-kasus masa lalu, namun kondisi masyarakat yang kesulitan mengalami persekusi, tidak mendapat akses kesehatan, tidak dapat bersekolah, hingga sulit beribadah adalah pelanggaran HAM dasar yang harus diingat semua pihak.


“Sebenarnya HAM itu bisa ditunjukkan sebagai pendidikan budi pekerti. Kalau nilainya bagus pasti bisa saling menghormati. Mereka yang paham sejarah itu enggak perlu diminta untuk menghormati HAM. Maka, kalau di satu daerah ada perbedaan agama dan itu bisa jadi rukun, itu yang harus dikomporin. Dikomporin untuk menjadi contoh merasakan nikmatnya [kerukunan] seperti itu,” tukas dia.


--Jangan hanya dilihat dari pelanggaran, tapi juga keberhasilan

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam kesempatan yang sama mengakui bahwa Festival HAM menjadi peristiwa yang sangat penting yang dapat dijadikan model di daerah lain, bahkan memberi insiprasi ke negara lain.


“Kita ingin peristiwa ini bisa menjadi model di daerah lain bahkan akan memberi inspirasi negara luar bahwa Indonesia sangat maju dalam upaya penghormatan HAM. Selanjutnya, ini juga sebuah bentuk komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tidak hanya di Wonosobo dan Jawa Tengah, tapi juga menjadi role model untuk negara-negara lain,” kata Moeldoko.


Lebih lanjut, dia berharap, Festival HAM akan terus digelar setiapnya dengan mengusung model-model baru yang lebih segar dan semakin memudahkan masyarakat untuk memahami arti HAM itu sendiri.


“Saya pikir nanti bisa ada model-model baru yang bisa menyegarkan, mengingatkan kita lebih mudah, bisa membangun sebuah imajinasi, dan bisa mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih rendah sampai tertinggi,” sebut dia.


Moeldoko pun berharap, masyarakat Indonesia tidak lagi hanya melihat HAM sebagai sederet bentuk pelanggaran. Namun, warga Indonesia seharusnya juga bisa mengapresiasi daerah-daerah yang dapat menegakkan dan menghormati HAM dengan baik.


“Kota-kota yang berhasil itu jelas perlu diangkat sehingga semua orang terinsipirasi untuk berbuat baik. Festival ini juga harusnya bisa melibatkan anak-anak sampai dewasa, sehingga tempat ini bisa menjadi laboratorium pembelajaran tentang HAM,” tukas Moeldoko.


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA