Selasa, H / 19 Maret 2024

Bangun Indonesia Dari Sini

Jumat 07 Sep 2018 14:54 WIB

Atiqoh Hamid

Asian Games 2018 di GBK

Foto: antarafoto

Oleh : Atiqoh Hamid

ESQNews.id - Tulisan ini mungkin akan terkesan lebai nantinya, bagi sebagian orang. Namun, saya tidak bisa membatasi bagian mana yang harus dikurangi. Atau poin mana yang harus ditutupi. Bagi seorang yang sedang punya gairah menulis, saat ide berkelebat dan pikiran berkelana, ya itulah yang harus dituangkan .



Gagal move on dari kemeriahan Asian Games 2018, itulah yang saya rasakan. Bahkan kemeriahan penutupan  semalam pun, tak luput dari ingatan. Indonesia yang kaya budaya dan luas wilayahnya, begitu apik ditampilkan dalam sebuah panggung yang meski cukup sempit (untuk Indonesia yang besar), namun elegan dan berkelas.



Sungguh kaya negeri kita. Kaya sumber daya alam, kaya budaya, kaya bahasa, kaya potensi, dan kaya prestasi. Kendati mungkin belum bisa disejajarkan dengan negara adidaya, Indonesia telah mampu berdiri tegak, menengadah dan berkata “Aku bangga menjadi Indonesia”.



Bagi sebagian anak muda, kebanggaan tidak cukup hanya tersimpan di dada. Pekik semangat sesekali perlu diteriakkan untuk membangkitkan rasa cinta tanah air. Memupuk bangga dengan berkata, Aku Indonesia. Aku cinta Indonesia. Aku bangga menjadi bagian dari Indonesia.



Ah, tidak perlu begitu lah. Meski diam, bukan berarti tidak cinta, bukan? Meski tidak berkiprah apa-apa atau bahkan menjadi oposisi, tidak bermakna benci, bukan? Yes. Semuanya benar. Tapi tidak salah juga bagi mereka yang suka memekikkan kata kebanggaan, NKRI harga mati. Karena, jika bukan kita, siapa lagi yang akan menyulut semangat. Jika abai, lama-lama akan padam dan lalu hilang tanpa atsar.



Tadi malam, saya sengaja menonton ulang kemeriahan pembukaan Asian Games lalu. Ingin mendapat kesan berbeda, saya memutar tayangan yang disiarkan oleh televisi luar negeri. Ditambah beberapa tanggapan pemirsa dari beberapa negara. Tidak bisa berkata-kata. Yang ada hanya rasa haru. Sedemikian apresiatif orang di luar sana terhadap karya anak bangsa. Sedang kita, kadang kala masih berpikir plus minus. Tapi mungkin inilah cerminan kekayaan berpikir bangsa kita.



Dari fenomena stuntman, perdebatan tari Saman atau tari Ratoh Jaroe, anggaran yang dihambur-hamburkan, bonus akan segera terbayarkan atau tidak, hingga insiden berpelukan ala Teletubbies, menghiasi media akhir-akhir ini. Penuh sesak.



Di satu sisi, perdebatan semacam ini menggiring nalar kita untuk berpikir. Terbiasa mengaitkan satu hal dengan hal lain. Mengkaji dan membiasakan diskusi. Tapi di sisi lain, tidakkah kita bayangkan bahwa hal ini dapat menebar benih-benih kebencian, perpecahan, dan disintegrasi bangsa?



Siapa pun pemimpinnya, jika kita masih terkungkung dalam fanatisme sektarian, bigotry akut, esoterik atau apa pun yang berbau “keakuan", maka jangan diharap bangsa ini akan maju. Kita butuh persediaan positive thinking yang lebih banyak.



Pelajar, belajarlah yang giat. Petani membajak sawah dengan gembira. Guru, mengajar dari hati. Jangan sisakan untuk hal-hal tidak bermanfaat. Kita cintai Indonesia dari diri dan lingkungan kita. Membangun Indonesia dari daerah lebih bijak daripada ramai tak tentu arah.


*Atiqoh Hamid
Penulis adalah Pengasuh PP Miftahul Jadid, Banyuanyar, Kalibaru Banyuwangi
Ingin tulisanmu dimuat di ESQNews.id? kirimkan ke email kami di [email protected]


Dapatkan Update Berita

BERITA LAINNYA